Ilmu Budaya Dasar (IBD) : Budaya Minangkabau (Padang)
Budaya Minangkabau
Budaya Minangkabau adalah
kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Minangkabau dan berkembang di seluruh
kawasan berikut daerah perantauan Minangkabau. Budaya ini merupakan salah satu
dari dua kebudayaan besar di Nusantara yang sangat menonjol dan berpengaruh.
Budaya ini memiliki sifat egaliter, demokratis, dan sintetik, yang menjadi
anti-tesis bagi kebudayaan besar lainnya, yakni budaya Jawa yang bersifat
feodal dan sinkretik.
Berbeda dengan kebanyakan budaya
yang berkembang di dunia, budaya Minangkabau menganut sistem matrilineal baik
dalam hal pernikahan, persukuan, warisan, dan sebagainya.
Orang Minangkabau
Minangkabau atau disingkat Minang
merujuk pada entitas kultural dan geografis yang ditandai dengan penggunaan
bahasa, adat yang menganut sistem kekerabatan matrilineal, dan identitas agama
Islam. Secara geografis, Minangkabau meliputi daratan Sumatera Barat, separuh
daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, pantai barat Sumatera
Utara, barat daya Aceh, dan Negeri Sembilan di Malaysia. Dalam percakapan awam,
orang Minang seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk pada nama ibu
kota provinsi Sumatera Barat Kota Padang. Namun, mereka biasanya akan menyebut
kelompoknya dengan sebutan urang awak, bermaksud sama dengan orang Minang itu
sendiri.
Menurut A.A. Navis, Minangkabau
lebih kepada kultur etnis dari suatu rumpun Melayu yang tumbuh dan besar karena
sistem monarki serta menganut sistem adat yang dicirikan dengan sistem
kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal,walaupun budayanya sangat
kuat diwarnai ajaran agama Islam. Thomas Stamford Raffles, setelah melakukan
ekspedisi ke pedalaman Minangkabau tempat kedudukan Kerajaan Pagaruyung,
menyatakan bahwa Minangkabau adalah sumber kekuatan dan asal bangsa Melayu,
yang kelak penduduknya tersebar luas di Kepulauan Timur.
Masyarakat Minang bertahan
sebagai penganut matrilineal terbesar di dunia. Selain itu, etnis ini telah
menerapkan sistem proto-demokrasi sejak masa pra-Hindu dengan adanya kerapatan
adat untuk menentukan hal-hal penting dan permasalahan hukum. Prinsip adat
Minangkabau tertuang dalam pernyataan Adat basandi syarak, syarak basandi
Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al-Qur'an) yang berarti
adat berlandaskan ajaran Islam.
Orang Minangkabau sangat menonjol
di bidang perniagaan, sebagai profesional dan intelektual. Mereka merupakan
pewaris dari tradisi lama Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang gemar berdagang
dan dinamis. Lebih dari separuh jumlah keseluruhan anggota masyarakat ini
berada dalam perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota
besar, seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan, Batam, Palembang, dan
Surabaya. Di luar wilayah Indonesia, etnis Minang terkonsentrasi di Kuala
Lumpur, Seremban, Singapura, Jeddah, Sydney, dan Melbourne.Masyarakat Minang
memiliki masakan khas yang populer dengan sebutan masakan Padang yang sangat
digemari di Indonesia bahkan sampai mancanegara.
Etimologi
Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang
dan kabau. Nama itu dikaitkan dengan suatu legenda yang dikenal di dalam tambo.
Dari tambo tersebut, konon pada suatu masa ada satu kerajaan asing (biasa
ditafsirkan sebagai Majapahit) yang datang dari laut akan melakukan penaklukan.
Untuk mencegah pertempuran, masyarakat setempat mengusulkan untuk mengadu
kerbau. Pasukan asing tersebut menyetujui dan menyediakan seekor kerbau yang
besar dan agresif, sedangkan masyarakat setempat menyediakan seekor anak kerbau
yang lapar. Dalam pertempuran, anak kerbau yang lapar itu menyangka kerbau
besar tersebut adalah induknya. Maka anak kerbau itu langsung berlari mencari
susu dan menanduk hingga mencabik-cabik perut kerbau besar tersebut. Kemenangan
itu menginspirasikan masyarakat setempat memakai nama Minangkabau yang berasal
dari ucapan "Manang kabau" (artinya menang kerbau). Kisah tambo ini
juga dijumpai dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan juga menyebutkan bahwa
kemenangan itu menjadikan negeri yang sebelumnya bernama Periaman (Pariaman)
menggunakan nama tersebut. Selanjutnya penggunaan nama Minangkabau juga
digunakan untuk menyebut sebuah nagari, yaitu Nagari Minangkabau, yang terletak
di Kecamatan Sungayang, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
Dalam catatan sejarah kerajaan Majapahit,
Nagarakretagama bertanggal 1365, juga telah menyebutkan nama Minangkabwa
sebagai salah satu dari negeri Melayu yang ditaklukannya. Begitu juga dalam
Tawarikh Ming tahun 1405, terdapat nama kerajaan Mi-nang-ge-bu dari enam
kerajaan yang mengirimkan utusan menghadap kepada Kaisar Yongle di Nanjing. Di
sisi lain, nama "Minang" (kerajaan Minanga) itu sendiri juga telah
disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit tahun 682 dan berbahasa Sanskerta.
Dalam prasasti itu dinyatakan bahwa pendiri kerajaan Sriwijaya yang bernama
Dapunta Hyang bertolak dari "Minānga" .... Beberapa ahli yang merujuk
dari sumber prasasti itu menduga, kata baris ke-4 (...minānga) dan ke-5
(tāmvan....) sebenarnya tergabung, sehingga menjadi mināngatāmvan dan
diterjemahkan dengan makna sungai kembar. Sungai kembar yang dimaksud diduga
menunjuk kepada pertemuan (temu) dua sumber aliran Sungai Kampar, yaitu Sungai
Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan. Namun pendapat ini dibantah oleh Casparis,
yang membuktikan bahwa "tāmvan" tidak ada hubungannya dengan
"temu", karena kata temu dan muara juga dijumpai pada
prasasti-prasasti peninggalan zaman Sriwijaya yang lainnya. Oleh karena itu
kata Minanga berdiri sendiri dan identik dengan penyebutan Minang itu sendiri.
Asal usul
Dari tambo yang
diterima secara turun temurun, menceritakan bahwa nenek moyang mereka berasal
dari keturunan Iskandar Zulkarnain. Walau tambo tersebut tidak tersusun secara
sistematis dan lebih kepada legenda berbanding fakta serta cendrung kepada
sebuah karya sastra yang sudah menjadi milik masyarakat banyak. Namun kisah
tambo ini sedikit banyaknya dapat dibandingkan dengan Sulalatus Salatin yang
juga menceritakan bagaimana masyarakat Minangkabau mengutus wakilnya untuk
meminta Sang Sapurba salah seorang keturunan Iskandar Zulkarnain tersebut untuk
menjadi raja mereka.
Masyarakat Minang merupakan
bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari
daratan China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2.500–2.000 tahun yang lalu.
Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah timur pulau Sumatera,
menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke dataran tinggi yang disebut darek dan
menjadi kampung halaman orang Minangkabau. Beberapa kawasan darek ini kemudian
membentuk semacam konfederasi yang dikenal dengan nama luhak, yang selanjutnya
disebut juga dengan nama Luhak Nan Tigo, yang terdiri dari Luhak Limo Puluah,
Luhak Agam, dan Luhak Tanah Data. Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda,
kawasan luhak tersebut menjadi daerah teritorial pemerintahan yang disebut
afdeling, dikepalai oleh seorang residen yang oleh masyarakat Minangkabau disebut
dengan nama Tuan Luhak.
Sementara seiring dengan
pertumbuhan dan perkembangan penduduk, masyarakat Minangkabau menyebar ke
kawasan darek yang lain serta membentuk beberapa kawasan tertentu menjadi
kawasan rantau. Konsep rantau bagi masyarakat Minang merupakan suatu kawasan
yang menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau. Rantau juga berfungsi sebagai
tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan. Rantau di Minangkabau dikenal
dengan Rantau Nan Duo terbagi atas Rantau di Hilia (kawasan pesisir timur) dan
Rantau di Mudiak (kawasan pesisir barat).
Pada awalnya penyebutan orang
Minang belum dibedakan dengan orang Melayu, namun sejak abad ke-19, penyebutan
Minang dan Melayu mulai dibedakan melihat budaya matrilineal yang tetap
bertahan berbanding patrilineal yang dianut oleh masyarakat Melayu umumnya.
Kemudian pengelompokan ini terus berlangsung demi kepentingan sensus penduduk
maupun politik.
Agama
Masyarakat Minang
saat ini merupakan pemeluk agama Islam, jika ada masyarakatnya keluar dari
agama Islam (murtad), secara langsung yang bersangkutan juga dianggap keluar
dari masyarakat Minang, dalam istilahnya disebut "dibuang sepanjang
adat". Agama Islam diperkirakan masuk melalui kawasan pesisir timur,
walaupun ada anggapan dari pesisir barat, terutama pada kawasan Pariaman, namun
kawasan Arcat (Aru dan Rokan) serta Inderagiri yang berada pada pesisir timur
juga telah menjadi kawasan pelabuhan Minangkabau, dan Sungai Kampar maupun
Batang Kuantan berhulu pada kawasan pedalaman Minangkabau. Sebagaimana pepatah
yang ada di masyarakat, Adat manurun, Syarak mandaki (Adat diturunkan dari
pedalaman ke pesisir, sementara agama (Islam) datang dari pesisir ke
pedalaman), serta hal ini juga dikaitkan dengan penyebutan Orang Siak merujuk
kepada orang-orang yang ahli dan tekun dalam agama Islam, masih tetap digunakan
di dataran tinggi Minangkabau.
Sebelum Islam diterima secara
luas, masyarakat ini dari beberapa bukti arkeologis menunjukan pernah memeluk
agama Buddha terutama pada masa kerajaan Sriwijaya, Dharmasraya, sampai pada
masa-masa pemerintahan Adityawarman dan anaknya Ananggawarman. Kemudian
perubahan struktur kerajaan dengan munculnya Kerajaan Pagaruyung yang telah
mengadopsi Islam dalam sistem pemerintahannya, walau sampai abad ke-16, Suma
Oriental masih menyebutkan dari tiga raja Minangkabau hanya satu yang telah
memeluk Islam.
Kedatangan Haji Miskin, Haji
Sumanik dan Haji Piobang dari Mekkah sekitar tahun 1803, memainkan peranan
penting dalam penegakan hukum Islam di pedalaman Minangkabau. Walau pada saat
bersamaan muncul tantangan dari masyarakat setempat yang masih terbiasa dalam
tradisi adat, dan puncak dari konflik ini muncul Perang Padri sebelum akhirnya
muncul kesadaran bersama bahwa adat berasaskan Al-Qur'an.
Adat dan budaya
Menurut tambo, sistem adat Minangkabau pertama kali dicetuskan oleh dua orang bersaudara, Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang. Datuk Ketumanggungan mewariskan sistem adat Koto Piliang yang aristokratis, sedangkan Datuk Perpatih mewariskan sistem adat Bodi Caniago yang egaliter. Dalam perjalanannya, dua sistem adat yang dikenal dengan kelarasan ini saling isi mengisi dan membentuk sistem masyarakat Minangkabau.
Dalam masyarakat Minangkabau, ada
tiga pilar yang membangun dan menjaga keutuhan budaya serta adat istiadat.
Mereka adalah alim ulama, cerdik pandai, dan ninik mamak, yang dikenal dengan
istilah Tungku Tigo Sajarangan. Ketiganya saling melengkapi dan bahu membahu
dalam posisi yang sama tingginya. Dalam masyarakat Minangkabau yang demokratis
dan egaliter, semua urusan masyarakat dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu
secara mufakat.
Matrilineal
Matrilineal merupakan salah satu aspek utama dalam mendefinisikan identitas masyarakat Minang. Adat dan budaya mereka menempatkan pihak perempuan bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Garis keturunan dirujuk kepada ibu yang dikenal dengan Samande (se-ibu), sedangkan ayah mereka disebut oleh masyarakat dengan nama Sumando (ipar) dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga.
Kaum perempuan di Minangkabau
memiliki kedudukan yang istimewa sehingga dijuluki dengan Bundo Kanduang,
memainkan peranan dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan keputusan-keputusan
yang dibuat oleh kaum lelaki dalam posisi mereka sebagai mamak (paman atau
saudara dari pihak ibu), dan penghulu (kepala suku). Pengaruh yang besar tersebut
menjadikan perempuan Minang disimbolkan sebagai Limpapeh Rumah Nan Gadang
(pilar utama rumah). Walau kekuasaan sangat dipengaruhi oleh penguasaan
terhadap aset ekonomi namun kaum lelaki dari keluarga pihak perempuan tersebut
masih tetap memegang otoritas atau memiliki legitimasi kekuasaan pada
komunitasnya.
Bahasa
Bahasa Minangkabau
termasuk salah satu anak cabang rumpun bahasa Austronesia. Walaupun ada
perbedaan pendapat mengenai hubungan bahasa Minangkabau dengan bahasa Melayu,
ada yang menganggap bahasa yang dituturkan masyarakat ini sebagai bagian dari
dialek Melayu, karena banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk tuturan di
dalamnya, sementara yang lain justru beranggapan bahasa ini merupakan bahasa
mandiri yang berbeda dengan Melayu serta ada juga yang menyebut bahasa
Minangkabau merupakan bahasa Proto-Melayu. Selain itu dalam masyarakat penutur
bahasa Minang itu sendiri juga sudah terdapat berbagai macam dialek bergantung kepada
daerahnya masing-masing.
Pengaruh bahasa lain yang diserap ke dalam bahasa Minang umumnya dari Sanskerta, Arab, Tamil, dan Persia. Kemudian kosakata Sanskerta dan Tamil yang dijumpai pada beberapa prasasti di Minangkabau telah ditulis menggunakan bermacam aksara di antaranya Dewanagari, Pallawa, dan Kawi. Menguatnya Islam yang diterima secara luas juga mendorong masyarakatnya menggunakan Abjad Jawi dalam penulisan sebelum berganti dengan Alfabet Latin.
Meskipun memiliki bahasa sendiri,
orang Minang juga menggunakan bahasa Melayu dan kemudian bahasa Indonesia
secara meluas. Historiografi tradisional orang Minang, Tambo Minangkabau,
ditulis dalam bahasa Melayu dan merupakan bagian sastra Melayu atau sastra
Indonesia lama. Suku Minangkabau menolak penggunaan bahasa Minangkabau untuk
keperluan pengajaran di sekolah-sekolah. Bahasa Melayu yang dipengaruhi baik
secara tata bahasa maupun kosakata oleh bahasa Arab telah digunakan untuk
pengajaran agama Islam. Pidato di sekolah agama juga menggunakan bahasa Melayu.
Pada awal abad ke-20 sekolah Melayu yang didirikan pemerintah Hindia Belanda di
wilayah Minangkabau mengajarkan ragam bahasa Melayu Riau, yang dianggap sebagai
bahasa standar dan juga digunakan di wilayah Johor, Malaysia. Namun
kenyataannya bahasa yang digunakan oleh sekolah-sekolah Belanda ini adalah
ragam yang terpengaruh oleh bahasa Minangkabau.
Guru-guru dan penulis Minangkabau
berperan penting dalam pembinaan bahasa Melayu Tinggi. Banyak guru-guru bahasa
Melayu berasal dari Minangkabau, dan sekolah di Bukittinggi merupakan salah
satu pusat pembentukan bahasa Melayu formal.Dalam masa diterimanya bahasa
Melayu Balai Pustaka, orang-orang Minangkabau menjadi percaya bahwa mereka
adalah penjaga kemurnian bahasa yang kemudian menjadi bahasa Indonesia itu.
Kesenian
Masyarakat Minangkabau memiliki
berbagai macam atraksi dan kesenian, seperti tari-tarian yang biasa ditampilkan
dalam pesta adat maupun perkawinan. Di antara tari-tarian tersebut misalnya
tari pasambahan merupakan tarian yang dimainkan bermaksud sebagai ucapan
selamat datang ataupun ungkapan rasa hormat kepada tamu istimewa yang baru saja
sampai, selanjutnya tari piring merupakan bentuk tarian dengan gerak cepat dari
para penarinya sambil memegang piring pada telapak tangan masing-masing, yang
diiringi dengan lagu yang dimainkan oleh talempong dan saluang.
Silek atau Silat Minangkabau
merupakan suatu seni bela diri tradisional khas suku ini yang sudah berkembang
sejak lama. Dewasa ini Silek tidak hanya diajarkan di Minangkabau saja, namun
juga telah menyebar ke seluruh Kepulauan Melayu bahkan hingga ke Eropa dan
Amerika. Selain itu, adapula tarian yang bercampur dengan silek yang disebut
dengan randai. Randai biasa diiringi dengan nyanyian atau disebut juga dengan
sijobang, dalam randai ini juga terdapat seni peran (acting) berdasarkan
skenario.
Selain itu, Minangkabau juga
menonjol dalam seni berkata-kata. Terdapat tiga genre seni berkata-kata, yaitu
pasambahan (persembahan), indang, dan salawat dulang. Seni berkata-kata atau
bersilat lidah, lebih mengedepankan kata sindiran, kiasan, ibarat, alegori,
metafora, dan aforisme. Dalam seni berkata-kata seseorang diajarkan untuk
mempertahankan kehormatan dan harga diri, tanpa menggunakan senjata dan kontak
fisik.
Olahraga
Pacuan kuda merupakan
olahraga berkuda yang telah lama ada di nagari-nagari Minang, dan
sampai saat ini masih diselenggarakan oleh masyarakatnya, serta menjadi perlombaan tahunan yang dilaksanakan pada kawasan yang memiliki lapangan pacuan kuda. Beberapa pertandingan tradisional lainnya yang masih dilestarikan dan menjadi hiburan bagi masyarakat Minang antara lain lomba pacu jawi dan pacu itik. sipak rago,atau nama lainnya sepak takraw adalah olah raga masyarakat tradisional minang yang dimainkan sedikitnya lima atau empat orang, bolanya terbuat dari anyaman rotan, bola ditendang dari setinggi pinggang sampai setinggi kepala oleh sekelompok orang yang berdiri melingkar, dalam hikayat dan novel serta beberapa film seperti film sengsara membawa nikmat ada menyinggung masalah olahraga sipak rago ini.
sampai saat ini masih diselenggarakan oleh masyarakatnya, serta menjadi perlombaan tahunan yang dilaksanakan pada kawasan yang memiliki lapangan pacuan kuda. Beberapa pertandingan tradisional lainnya yang masih dilestarikan dan menjadi hiburan bagi masyarakat Minang antara lain lomba pacu jawi dan pacu itik. sipak rago,atau nama lainnya sepak takraw adalah olah raga masyarakat tradisional minang yang dimainkan sedikitnya lima atau empat orang, bolanya terbuat dari anyaman rotan, bola ditendang dari setinggi pinggang sampai setinggi kepala oleh sekelompok orang yang berdiri melingkar, dalam hikayat dan novel serta beberapa film seperti film sengsara membawa nikmat ada menyinggung masalah olahraga sipak rago ini.
Rumah adat
Rumah adat Minangkabau disebut
dengan Rumah Gadang, yang biasanya dibangun di atas sebidang tanah milik
keluarga induk dalam suku tersebut secara turun temurun. Rumah adat ini dibuat
berbentuk empat persegi panjang dan dibagi atas dua bagian muka dan belakang.
Umumnya berbahan kayu, dan sepintas kelihatan seperti bentuk rumah panggung
dengan atap yang khas, menonjol seperti tanduk kerbau yang biasa disebut
gonjong dan dahulunya atap ini berbahan ijuk sebelum berganti dengan atap seng.
Di halaman depan Rumah Gadang, biasanya didirikan dua sampai enam buah
Rangkiang yang digunakan sebagai tempat penyimpanan padi milik keluarga yang
menghuni Rumah Gadang tersebut.
Hanya kaum perempuan bersama
suaminya beserta anak-anak yang menjadi penghuni Rumah Gadang, sedangkan
laki-laki kaum tersebut yang sudah beristri, menetap di rumah istrinya. Jika
laki-laki anggota kaum belum menikah, biasanya tidur di surau. Surau biasanya
dibangun tidak jauh dari komplek Rumah Gadang tersebut, selain berfungsi
sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai tempat tinggal lelaki dewasa
namun belum menikah.
Dalam budaya Minangkabau, tidak
semua kawasan boleh didirikan Rumah Gadang. Hanya pada kawasan yang telah
berstatus nagari saja rumah adat ini boleh ditegakkan. Oleh karenanya di
beberapa daerah rantau Minangkabau seperti Riau, Jambi, Negeri Sembilan,
pesisir barat Sumatera Utara dan Aceh, tidak dijumpai rumah adat bergonjong.
Perkawinan
Dalam adat budaya Minangkabau,
perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam siklus kehidupan, dan
merupakan masa peralihan yang sangat berarti dalam membentuk kelompok kecil
keluarga baru pelanjut keturunan. Bagi lelaki Minang, perkawinan juga menjadi
proses untuk masuk lingkungan baru, yakni pihak keluarga istrinya. Sementara
bagi keluarga pihak istri, menjadi salah satu proses dalam penambahan anggota
di komunitas Rumah Gadang mereka.
Dalam prosesi perkawinan adat
Minangkabau, biasa disebut baralek, mempunyai beberapa tahapan yang umum
dilakukan. Dimulai dengan maminang (meminang), manjapuik marapulai (menjemput
pengantin pria), sampai basandiang (bersanding di pelaminan). Setelah maminang
dan muncul kesepakatan manantuan hari (menentukan hari pernikahan), maka
kemudian dilanjutkan dengan pernikahan secara Islam yang biasa dilakukan di
masjid, sebelum kedua pengantin bersanding di pelaminan. Pada nagari tertentu
setelah ijab kabul di depan penghulu atau tuan kadi, mempelai pria akan
diberikan gelar baru sebagai panggilan penganti nama kecilnya. Kemudian
masyarakat sekitar akan memanggilnya dengan gelar baru tersebut. Gelar panggilan
tersebut biasanya bermulai dari sutan, bagindo atau sidi (sayyidi) di kawasan
pesisir pantai. Sementara itu di kawasan Luhak Limopuluah, pemberian gelar ini
tidak berlaku.
Masakan khas
Masyarakat Minang juga dikenal
akan aneka masakannya. Dengan citarasanya yang pedas, membuat masakan ini
populer di kalangan masyarakat Indonesia, sehingga dapat ditemukan di hampir
seluruh Nusantara. Di Malaysia dan Singapura, masakan ini juga sangat digemari,
begitu pula dengan negara-negara lainnya. Bahkan, seni memasak yang dimiliki
masyarakat Minang juga berkembang di kawasan-kawasan lain seperti Riau, Jambi,
dan Negeri Sembilan, Malaysia. Salah satu masakan tradisional Minang yang
terkenal adalah Rendang, yang mendapat pengakuan dari seluruh dunia sebagai
hidangan terlezat. Masakan lainnya yang khas antara lain Asam Pedas, Soto
Padang, Sate Padang, dan Dendeng Balado. Masakan ini umumnya dimakan langsung
dengan tangan.
Masakan Minang mengandung bumbu
rempah-rempah yang kaya, seperti cabai, serai, lengkuas, kunyit, jahe, bawang
putih, dan bawang merah. Beberapa di antaranya diketahui memiliki aktivitas
antimikroba yang kuat, sehingga tidak mengherankan jika ada masakan Minang yang
dapat bertahan lama.Pada hari-hari tertentu, masakan yang dihidangkan banyak
yang berbahan utama daging, terutama daging sapi, daging kambing, dan daging
ayam.
Masakan ini lebih dikenal dengan
sebutan Masakan Padang, begitu pula dengan restoran atau rumah makan yang
khusus menyajikannya disebut Restoran Padang. Padahal dalam masyarakat Minang
itu sendiri, memiliki karakteristik berbeda dalam pemilihan bahan dan proses
memasak, bergantung kepada daerahnya masing-masing.
Sosial kemasyarakatan
Suku dalam tatanan Masyarakat
Minangkabau merupakan basis dari organisasi sosial, sekaligus tempat
pertarungan kekuasaan yang fundamental. Pengertian awal kata suku dalam Bahasa
Minang dapat bermaksud satu perempat, sehingga jika dikaitkan dengan pendirian
suatu nagari di Minangkabau, dapat dikatakan sempurna apabila telah terdiri
dari komposisi empat suku yang mendiami kawasan tersebut. Selanjutnya, setiap
suku dalam tradisi Minang, diurut dari garis keturunan yang sama dari pihak
ibu, dan diyakini berasal dari satu keturunan nenek moyang yang sama.
Selain sebagai basis politik,
suku juga merupakan basis dari unit-unit ekonomi. Kekayaan ditentukan oleh
kepemilikan tanah keluarga, harta, dan sumber-sumber pemasukan lainnya yang
semuanya itu dikenal sebagai harta pusaka. Harta pusaka merupakan harta milik
bersama dari seluruh anggota kaum-keluarga. Harta pusaka tidak dapat
diperjualbelikan dan tidak dapat menjadi milik pribadi. Harta pusaka semacam
dana jaminan bersama untuk melindungi anggota kaum-keluarga dari kemiskinan.
Jika ada anggota keluarga yang mengalami kesulitan atau tertimpa musibah, maka harta
pusaka dapat digadaikan.
Suku terbagi-bagi ke dalam
beberapa cabang keluarga yang lebih kecil atau disebut payuang (payung). Adapun
unit yang paling kecil setelah sapayuang disebut saparuik. Sebuah paruik
(perut) biasanya tinggal pada sebuah Rumah Gadang secara bersama-sama.
Nagari
Daerah Minangkabau terdiri atas banyak nagari.
Nagari ini merupakan daerah otonom dengan kekuasaan tertinggi di Minangkabau.
Tidak ada kekuasaan sosial dan politik lainnya yang dapat mencampuri adat di
sebuah nagari. Nagari yang berbeda akan mungkin sekali mempunyai tipikal adat
yang berbeda. Tiap nagari dipimpin oleh sebuah dewan yang terdiri dari pemimpin
suku dari semua suku yang ada di nagari tersebut. Dewan ini disebut dengan
Kerapatan Adat Nagari (KAN). Dari hasil musyawarah dan mufakat dalam dewan
inilah sebuah keputusan dan peraturan yang mengikat untuk nagari itu
dihasilkan.
Faktor utama yang menentukan dinamika
masyarakat Minangkabau adalah terdapatnya kompetisi yang konstan antar nagari,
kaum-keluarga, dan individu untuk mendapatkan status dan prestise. Oleh
karenanya setiap kepala kaum akan berlomba-lomba meningkatkan prestise
kaum-keluarganya dengan mencari kekayaan (berdagang) serta menyekolahkan
anggota kaum ke tingkat yang paling tinggi.
Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya
telah dikenal dalam istilah pepatah yang ada pada masyarakat adat Minang itu
sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto
manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan
di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak,
kemudian berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto dan
kemudian berkembang menjadi Nagari. Biasanya setiap nagari yang dibentuk
minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut. Selanjutnya
sebagai pusat administrasi nagari tersebut dibangunlah sebuah Balai Adat
sekaligus sebagai tempat pertemuan dalam mengambil keputusan bersama para
penghulu di nagari tersebut.
Penghulu
Penghulu atau biasa yang digelari dengan
datuak, merupakan kepala kaum keluarga yang diangkat oleh anggota keluarga
untuk mengatur semua permasalahan kaum. Penghulu biasanya seorang laki-laki
yang terpilih di antara anggota kaum laki-laki lainnya. Setiap kaum-keluarga
akan memilih seorang laki-laki yang pandai berbicara, bijaksana, dan memahami
adat, untuk menduduki posisi ini. Hal ini dikarenakan ia bertanggung jawab
mengurusi semua harta pusaka kaum, membimbing kemenakan, serta sebagai wakil
kaum dalam masyarakat nagari. Setiap penghulu berdiri sejajar dengan penghulu
lainnya, sehingga dalam rapat-rapat nagari semua suara penghulu yang mewakili
setiap kaum bernilai sama.
Seiring dengan bertambahnya anggota kaum, serta
permasalahan dan konflik intern yang timbul, maka kadang-kadang dalam sebuah
keluarga posisi kepenghuluan ini dipecah menjadi dua. Atau sebaliknya, anggota
kaum yang semakin sedikit jumlahnya, cenderung akan menggabungkan gelar
kepenghuluannya kepada keluarga lainnya yang sesuku. Hal ini mengakibatkan
berubah-ubahnya jumlah penghulu dalam suatu nagari.
Memiliki penghulu yang mewakili suara kaum
dalam rapat nagari, merupakan suatu prestise dan harga diri. Sehingga setiap
kaum akan berusaha sekuatnya memiliki penghulu sendiri. Kaum-keluarga yang
gelar kepenghuluannya sudah lama terlipat, akan berusaha membangkitkan kembali
posisinya dengan mencari kekayaan untuk "membeli" gelar penghulunya
yang telah lama terbenam. Bertegak penghulu memakan biaya cukup besar, sehingga
tekanan untuk menegakkan penghulu selalu muncul dari keluarga kaya.
Kerajaan
Dalam laporan De Stuers kepada pemerintah
Hindia-Belanda, dinyatakan bahwa di daerah pedalaman Minangkabau, tidak pernah
ada suatu kekuasaan pemerintahan terpusat di bawah seorang raja. Tetapi yang
ada adalah nagari-nagari kecil yang mirip dengan pemerintahan polis-polis pada
masa Yunani kuno. Namun dari beberapa prasasti yang ditemukan pada kawasan
pedalaman Minangkabau, serta dari tambo yang ada pada masyarakat setempat,
etnis Minangkabau pernah berada dalam suatu sistem kerajaan yang kuat dengan
daerah kekuasaan meliputi pulau Sumatera dan bahkan sampai Semenanjung Malaya.
Beberapa kerajaaan yang ada di wilayah Minangkabau antara lain Kerajaan
Dharmasraya, Kerajaan Pagaruyung, dan Kerajaan Inderapura.
Sistem kerajaan ini masih dijumpai di Negeri
Sembilan, salah satu kawasan dengan komunitas masyarakat Minang yang cukup
signifikan. Pada awalnya masyarakat Minang di negeri ini menjemput seorang
putra Raja Alam Minangkabau untuk menjadi raja mereka, sebagaimana tradisi
masyarakat Minang sebelumnya, seperti yang diceritakan dalam Sulalatus Salatin.
Minangkabau
perantauan
Minangkabau perantauan merupakan istilah untuk
orang Minang yang hidup di luar kampung halamannya.Bagi laki-laki Minang
merantau erat kaitannya dengan pesan nenek moyang “karatau madang di hulu
babuah babungo balun” (anjuran merantau kepada laki-laki karena di kampung
belum berguna). Dalam kaitan ini harus dikembangkan dan dipahami, apa yang
terkandung dan dimaksud “satinggi-tinggi tabangnyo bangau kembalinya ke
kubangan juo”. Ungkapan ini ditujukan agar urang Minang agar akan selalu ingat
pada ranah asalnya. Merantau merupakan proses interaksi masyarakat Minangkabau
dengan dunia luar. Kegiatan ini merupakan sebuah petualangan pengalaman dan
geografis, dengan meninggalkan kampung halaman untuk mengadu nasib di negeri
orang. Keluarga yang telah lama memiliki tradisi merantau, biasanya mempunyai
saudara di hampir semua kota utama di Indonesia dan Malaysia. Keluarga yang
paling kuat dalam mengembangkan tradisi merantau biasanya datang dari keluarga
pedagang-pengrajin dan penuntut ilmu agama.
Para perantau biasanya telah pergi merantau
sejak usia belasan tahun, baik sebagai pedagang ataupun penuntut ilmu. Bagi
sebagian besar masyarakat Minangkabau, merantau merupakan sebuah cara yang
ideal untuk mencapai kematangan dan kesuksesan. Dengan merantau tidak hanya
harta kekayaan dan ilmu pengetahuan yang didapat, namun juga prestise dan
kehormatan individu di tengah-tengah lingkungan adat.
Dari pencarian yang diperoleh, para perantau
biasanya mengirimkan sebagian hasilnya ke kampung halaman untuk kemudian
diinvestasikan dalam usaha keluarga, yakni dengan memperluas kepemilikan sawah,
memegang kendali pengolahan lahan, atau menjemput sawah-sawah yang tergadai.
Uang dari para perantau biasanya juga dipergunakan untuk memperbaiki sarana-sarana
nagari, seperti mesjid, jalan, ataupun pematang sawah.
Jumlah
perantau
Etos merantau orang Minangkabau sangatlah
tinggi, bahkan diperkirakan tertinggi di Indonesia. Dari hasil studi yang
pernah dilakukan oleh Mochtar Naim, pada tahun 1961 terdapat sekitar 32% orang
Minang yang berdomisili di luar Sumatera Barat. Kemudian pada tahun 1971 jumlah
itu meningkat menjadi 44%. Berdasarkan sensus tahun 2010, etnis Minang yang
tinggal di Sumatera Barat berjumlah 4,2 juta jiwa, dengan perkiraan hampir separuh
orang Minang berada di perantauan. Mobilitas migrasi orang Minangkabau dengan
proporsi besar terjadi dalam rentang antara tahun 1958 sampai tahun 1978,
dimana lebih 80% perantau yang tinggal di kawasan rantau telah meninggalkan
kampung halamannya setelah masa kolonial Belanda.
Namun tidak terdapat angka pasti mengenai
jumlah orang Minang di perantauan. Angka-angka yang ditampilkan dalam
perhitungan, biasanya hanya memasukkan para perantau kelahiran Sumatera Barat.
Namun belum mencakup keturunan-keturunan Minang yang telah beberapa generasi
menetap di perantauan.
Para perantau Minang, hampir keseluruhannya
berada di kota-kota besar Indonesia dan Malaysia. Di beberapa perkotaan, jumlah
mereka cukup signifikan dan bahkan menjadi pihak mayoritas. Di Pekanbaru,
perantau Minang berjumlah 37,96% dari seluruh penduduk kota, dan menjadi etnis
terbesar di kota tersebut. Jumlah ini telah mengalami penurunan jika
dibandingkan dengan tahun 1971 yang mencapai 65%.
Gelombang
rantau
Merantau pada etnis Minang telah berlangsung
cukup lama. Sejarah mencatat migrasi pertama terjadi pada abad ke-7, di mana
banyak pedagang-pedagang emas yang berasal dari pedalaman Minangkabau melakukan
perdagangan di muara Jambi, dan terlibat dalam pembentukan Kerajaan Malayu.
Migrasi besar-besaran terjadi pada abad ke-14, dimana banyak keluarga Minang
yang berpindah ke pesisir timur Sumatera. Mereka mendirikan koloni-koloni
dagang di Batubara, Pelalawan, hingga melintasi selat ke Penang dan Negeri
Sembilan, Malaysia. Bersamaan dengan gelombang migrasi ke arah timur, juga
terjadi perpindahan masyarakat Minang ke pesisir barat Sumatera. Di sepanjang
pesisir ini perantau Minang banyak bermukim di Meulaboh, Aceh tempat keturunan
Minang dikenal dengan sebutan Aneuk Jamee; Barus, Sibolga, Natal, Bengkulu,
hingga Lampung. Setelah Kesultanan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun
1511, banyak keluarga Minangkabau yang berpindah ke Sulawesi Selatan. Mereka
menjadi pendukung kerajaan Gowa, sebagai pedagang dan administratur kerajaan.
Datuk Makotta bersama istrinya Tuan Sitti, sebagai cikal bakal keluarga
Minangkabau di Sulawesi. Gelombang migrasi berikutnya terjadi pada abad ke-18,
yaitu ketika Minangkabau mendapatkan hak istimewa untuk mendiami kawasan
Kerajaan Siak.
Pada masa penjajahan Hindia-Belanda, migrasi
besar-besaran kembali terjadi pada tahun 1920, ketika perkebunan tembakau di
Deli Serdang, Sumatera Timur mulai dibuka. Pada masa kemerdekaan, Minang
perantauan banyak mendiami kota-kota besar di Jawa, pada tahun 1961 jumlah
perantau Minang terutama di kota Jakarta meningkat 18,7 kali dibandingkan
dengan tingkat pertambahan penduduk kota itu yang hanya 3,7 kali, dan pada
tahun 1971 etnis ini diperkirakan telah berjumlah sekitar 10% dari jumlah
penduduk Jakarta waktu itu. Kini Minang perantauan hampir tersebar di seluruh
dunia.
Perantauan
intelektual
Pada akhir abad ke-18, banyak pelajar Minang
yang merantau ke Mekkah untuk mendalami agama Islam, di antaranya Haji Miskin,
Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Setibanya di tanah air, mereka menjadi
penyokong kuat gerakan Paderi dan menyebarluaskan pemikiran Islam yang murni di
seluruh Minangkabau dan Mandailing. Gelombang kedua perantauan ke Timur Tengah
terjadi pada awal abad ke-20, yang dimotori oleh Abdul Karim Amrullah, Tahir
Jalaluddin, Muhammad Jamil Jambek, dan Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.
Selain ke Timur Tengah, pelajar Minangkabau
juga banyak yang merantau ke Eropa. Mereka antara lain Abdoel Rivai, Mohammad
Hatta, Sutan Syahrir, Roestam Effendi, dan Mohammad Amir. Intelektual lain, Tan
Malaka, hidup mengembara di delapan negara Eropa dan Asia, membangun jaringan
pergerakan kemerdekaan Asia. Semua pelajar Minang tersebut, yang merantau ke
Eropa sejak akhir abad ke-19, menjadi pejuang kemerdekaan dan pendiri Republik
Indonesia.
Sebab merantau
Faktor budaya
Ada banyak penjelasan terhadap fenomena ini,
salah satu penyebabnya ialah sistem kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini,
penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum perempuan sedangkan hak kaum pria
dalam hal ini cukup kecil. Selain itu, setelah masa akil baligh para pemuda
tidak lagi dapat tidur di rumah orang tuanya, karena rumah hanya diperuntukkan
untuk kaum perempuan beserta suaminya, dan anak-anak.
Para perantau yang pulang ke kampung halaman,
biasanya akan menceritakan pengalaman merantau kepada anak-anak kampung. Daya
tarik kehidupan para perantau inilah yang sangat berpengaruh di kalangan
masyarakat Minangkabau sedari kecil. Siapa pun yang tidak pernah mencoba pergi
merantau, maka ia akan selalu diperolok-olok oleh teman-temannya. Hal inilah
yang menyebabkan kaum pria Minang memilih untuk merantau. Kini wanita
Minangkabau pun sudah lazim merantau. Tidak hanya karena alasan ikut suami,
tapi juga karena ingin berdagang, meniti karier dan melanjutkan pendidikan.
Menurut Rudolf Mrazek, sosiolog Belanda, dua
tipologi budaya Minang, yakni dinamisme dan anti-parokialisme melahirkan jiwa
merdeka, kosmopolitan, egaliter, dan berpandangan luas, hal ini menyebabkan
tertanamnya budaya merantau pada masyarakat Minangkabau.[68] Semangat untuk
mengubah nasib dengan mengejar ilmu dan kekayaan, serta pepatah Minang yang
mengatakan Karatau madang dahulu, babuah babungo alun, marantau bujang dahulu,
di rumah paguno balun (lebih baik pergi merantau karena di kampung belum
berguna) mengakibatkan pemuda Minang untuk pergi merantau sedari muda.
Salah satu motif tenun songket Minangkabau khas
nagari Pandai Sikek.
Faktor
ekonomi
Penjelasan lain adalah pertumbuhan penduduk
yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah.
Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup
dapat menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi
penghasilan utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi
kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga. Selain itu
adalah tumbuhnya kesempatan baru dengan dibukanya daerah perkebunan dan
pertambangan. Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang Minang pergi
merantau mengadu nasib di negeri orang. Untuk kedatangan pertamanya ke tanah
rantau, biasanya para perantau menetap terlebih dahulu di rumah dunsanak yang
dianggap sebagai induk semang. Para perantau baru ini biasanya berprofesi
sebagai pedagang kecil.
Selain itu, perekonomian masyarakat Minangkabau
sejak dahulunya telah ditopang oleh kemampuan berdagang, terutama untuk
mendistribusikan hasil bumi mereka. Kawasan pedalaman Minangkabau, secara
geologis memiliki cadangan bahan baku terutama emas, tembaga, timah, seng,
merkuri, dan besi, semua bahan tersebut telah mampu diolah oleh mereka.
Sehingga julukan suvarnadvipa (pulau emas) yang muncul pada cerita legenda di
India sebelum Masehi, kemungkinan dirujuk untuk pulau Sumatera karena hal ini.
Pedagang dari Arab pada abad ke-9, telah
melaporkan bahwa masyarakat di pulau Sumatera telah menggunakan sejumlah emas
dalam perdagangannya. Kemudian dilanjutkan pada abad ke-13 diketahui ada raja
di Sumatera yang menggunakan mahkota dari emas. Tomé Pires sekitar abad ke-16
menyebutkan, bahwa emas yang diperdagangangkan di Malaka, Panchur (Barus), Tico
(Tiku) dan Priaman (Pariaman), berasal dari kawasan pedalaman Minangkabau.
Disebutkan juga kawasan Indragiri pada sehiliran Batang Kuantan di pesisir
timur Sumatera, merupakan pusat pelabuhan dari raja Minangkabau.
Dalam prasasti yang ditinggalkan oleh
Adityawarman disebut bahwa dia adalah penguasa bumi emas. Hal inilah menjadi
salah satu penyebab, mendorong Belanda membangun pelabuhan di Padang dan sampai
pada abad ke-17 Belanda masih menyebut yang menguasai emas kepada raja
Pagaruyung. Kemudian meminta Thomas Diaz untuk menyelidiki hal tersebut, dari
laporannya dia memasuki pedalaman Minangkabau dari pesisir timur Sumatera dan
dia berhasil menjumpai salah seorang raja Minangkabau waktu itu (Rajo Buo), dan
raja itu menyebutkan bahwa salah satu pekerjaan masyarakatnya adalah pendulang
emas.
Sementara itu dari catatan para geologi
Belanda, pada sehiliran Batanghari dijumpai 42 tempat bekas penambangan emas
dengan kedalaman mencapai 60 m serta di Kerinci waktu itu, mereka masih
menjumpai para pendulang emas. Sampai abad ke-19, legenda akan kandungan emas
pedalaman Minangkabau, masih mendorong Raffles untuk membuktikannya, sehingga
dia tercatat sebagai orang Eropa pertama yang berhasil mencapai Pagaruyung
melalui pesisir barat Sumatera.
Faktor perang
"Orang Minang merupakan masyarakat yang
gelisah, dengan tradisi pemberontakan dan perlawanan yang panjang. Selalu
merasa bangga dengan perlawanan mereka terhadap kekuatan luar, baik dari Jawa
maupun Eropa".
— Pendapat dari Audrey R. Kahin.
Beberapa peperangan juga menimbulkan gelombang perpindahan masyarakat Minangkabau terutama dari daerah konflik, setelah Perang Padri, muncul pemberontakan di Batipuh menentang tanam paksa Belanda, disusul pemberontakan Siti Manggopoh dalam Perang Belasting menentang belasting dan pemberontakan komunis tahun 1926–1927. Setelah kemerdekaan muncul PRRI yang juga menyebabkan timbulnya eksodus besar-besaran masyarakat Minangkabau ke daerah lain. Dari beberapa perlawanan dan peperangan ini, memperlihatkan karakter masyarakat Minang yang tidak menyukai penindasan. Mereka akan melakukan perlawanan dengan kekuatan fisik, namun jika tidak mampu mereka lebih memilih pergi meninggalkan kampung halaman (merantau). Orang Sakai berdasarkan cerita turun temurun dari para tetuanya menyebutkan bahwa mereka berasal dari Pagaruyung. Orang Kubu menyebut bahwa orang dari Pagaruyung adalah saudara mereka. Kemungkinan masyarakat terasing ini termasuk masyarakat Minang yang melakukan resistansi dengan meninggalkan kampung halaman mereka karena tidak mau menerima perubahan yang terjadi di negeri mereka. De Stuers sebelumnya juga melaporkan bahwa masyarakat Padangsche Bovenlanden sangat berbeda dengan masyarakat di Jawa, di Pagaruyung ia menyaksikan masyarakat setempat begitu percaya diri dan tidak minder dengan orang Eropa. Ia merasakan sendiri, penduduk lokal lalu lalang begitu saja dihadapannya tanpa ia mendapatkan perlakuan istimewa, malah ada penduduk lokal meminta rokoknya, serta meminta ia menyulutkan api untuk rokok tersebut.
Merantau dalam sastra
Fenomena merantau dalam masyarakat Minangkabau,
ternyata sering menjadi sumber inspirasi bagi para pekerja seni, terutama
sastrawan. Hamka, dalam novelnya Merantau ke Deli, bercerita tentang pengalaman
hidup perantau Minang yang pergi ke Deli dan menikah dengan perempuan Jawa.
Novelnya yang lain Tenggelamnya Kapal Van der Wijck juga bercerita tentang
kisah anak perantau Minang yang pulang kampung. Di kampung, ia menghadapi
kendala oleh masyarakat adat Minang yang merupakan induk bakonya sendiri.
Selain novel karya Hamka, novel karya Marah Rusli, Sitti Nurbaya dan Salah
Asuhannya Abdul Muis juga menceritakan kisah perantau Minang. Dalam novel-novel
tersebut, dikisahkan mengenai persinggungan pemuda perantau Minang dengan adat
budaya Barat. Novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi, mengisahkan perantau
Minang yang belajar di pesantren Jawa dan akhirnya menjadi orang yang berhasil.
Dalam bentuk yang berbeda, lewat karyanya yang berjudul Kemarau, A.A Navis
mengajak masyarakat Minang untuk membangun kampung halamannya yang banyak di
tinggal pergi merantau.
Novel yang bercerita tentang perantau Minang
tersebut, biasanya berisi kritik sosial dari penulis kepada adat budaya Minang
yang kolot dan tertinggal. Selain dalam bentuk novel, kisah perantau Minang
juga dikisahkan dalam film Merantau karya sutradara Inggris, Gareth Evans.
Kesimpulan
Di indonesia ini terdapat bayak sekali beragam
budaya termasuk budaya Minangkabau atau biasa disebut Padang , di dalam
kebudayaaan padangpun terdapat bermacam-macam budaya dan tradisi yaitu Agama , Adat
dan budaya : Matrilineal , bahasa , kesenian , olahraga ,rumah adat , dan
perkawinan.
Sosial kemasyarakatan yang dianut orang minang
seperti nagari, penghulu dan kerajaan, Minangkabau perantauan dengan pesan
nenek moyang “karatau madang di hulu babuah babungo balun” (anjuran merantau
kepada laki-laki karena di kampung belum berguna).
Tradasi yang sudah ada dari jaman nenek moyang
kita yaitu Merantau ada pun factor orang minang merantau yaitu Faktor budaya , Faktor
Ekonomi , Faktor Perang.
Saran
Di dalam negeri kita Indonesia ini terdapat
banyak sekali beragam kekayaan budaya dan suku-suku bangsa Indonesia sehiga
kita sebagai calon penerus bangsa Indonesia harus mewujudkan rasa cinta kita
pada warisan budaya nenek moyang kita, walau seiring kemajuan teknologi ini
kita harus tetap melestarikan budaya di Indonesia kita dan tidak boleh membedakan
antara budaya yang satu dengan budaya yang lain.
Daftar Pustaka
https://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Minangkabau
https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_Minangkabau
https://id.wikipedia.org/wiki/Perantau_Minang
https://id.wikipedia.org/wiki/Saudagar_Minangkabau
https://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_makan_Padang
https://id.wikipedia.org/wiki/Rendang
https://id.wikipedia.org/wiki/Masakan_Padang
http://versesofuniverse.blogspot.co.id/2013/06/asal-usul-minangkabau-dan-peranannya.html
0 Comments:
:) TOLONG BERIKAN KRITIK , PENDAPAT & SARAN ANDA PADA KOLOM KOMENTAR :d
TERIMA KASIH :))